Tuesday, July 9, 2013

Pemberesan Harta Pailit pada Perusahaan Perorangan, BHP dan Pengadilan Niaga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. `Krisis moneter yang melanda hampir di seluruh belahan dunia pada pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Indonesia bukan satu-satunya negara yang menderita dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya. Dengan makin terpuruknya kehidupan perekonomian nasional, dapat dipastikan akan makin banyak dunia usaha yang pailit, sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Dengan demikian, dalam hal pailit tersebut akan menimbulkan masalah besar jika aturan yang ada tidak lengkap dan sempurna. Untuk itu diperlukan peraturan yang dapat digunakan secara tepat, cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan debitur untuk megupayakan penyelesaian yang adil. Dalam mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban Debitur yang sudah jatuh tempo, maka pembangunan hukum nasional dalamrangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dapat mendukung dan menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundangundangan, salah satunya adalah dengan merubah Undang-undang Kepailitan yang ada. Untuk itu, pemerintah sebagai regulator memberikan solusi dengan menerbitkan Undang-undang Kepailitan yang komprehensif, yakni Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan pada dunia usaha dimungkinkan dengan bentuk-bentuk usaha tertentu. Secara sederhana, perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk usaha, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan (partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation), Koperasi (cooperative). Pengertian perusahaan secara yuridis dapat ditemukan definisinya di dalam peraturan perundang-undangan, karena sesungguhnya perusahaan itu adalah sebagai lembaga ekonomi. Dengan kriteria tersebut maka dapat dengan mudah mengklasifisikan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan dilakukan secara legal (tidak bertentangan dengan hukum), serta dimaksudkan untuk mencari laba, maka kegiatan itu adalah merupakan kegiatan usaha. Lembaganya adalah perusahaan tertentu. Dalam hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan : “Bahwa setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya”. Peraturan khusus mengenai pelaksanaan perusahaan, yang telah disebutkan dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersebut diatas. Mewajibkan setiap orang yang menjalankan perusahaan membuat pembukuan yang teratur dan rapi. Dari pembukuan ini harus dapat diketahui semua hak dan kewajiban mengenai harta kekayaannya, termasuk harta kekayaan yang dipakai dalam perusahaan. Hal ini oleh pembentuk Undang-undang dipandang perlu untuk melindungi kepentingan kreditur. Marti Sumarni, et al, memberikan pengertian perusahaan secara ringkas dapat dikatakan bahwa : “Perusahaan adalah suatu unit kegiatan produksi yang mengolah sumbersumber ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan agar dapat memuaskan kebutuhan masyarakat”. Pengertian perusahaan secara ilmiah terdapat beberapa pendapat yang terpenting diantaranya, ialah : 1. Menurut Pemerintah Belanda, yang pada waktu itu membacakan “memorie van toelichting” rencana Undang-undang “Wetboek Van Koophandel” di muka parlemen, menerangkan bahwa disebut perusahaan ialah keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba (bagi diri sendiri); 2. Menurut Molengraaff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. Di sini Molengraaff memandang perusahaan dari sudut ekonomi. 3. Menurut Polak, baru ada perusahaan, bila diperlukan adanya perhitungan-perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan. Dipandang dari sudut komersiil. Polak, berpendapat perbuatan perusahaan ialah ; perbuatan-perbuatan yang direncanakan lebih dulu mengenai laba ruginya dan segala sesuatunya dicatat dalam buku. Di sini perbuatan perusahaan mempunyai dua unsur, yaitu : direncanakan lebih dulu tentang laba-ruginya dan unsur kedua ialah ; semua itu dicatat dalam buku. Rumusan pengertian perusahaan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (UUWDP), dalam Pasal 1 huruf (b), definisi perusahaan adalah sebagai berikut : “Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”. Dalam Pasal 1 huruf (d) UUWDP dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan : “Usaha adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba”. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut diperoleh kenyataan bahwa dalam pengertian perusahaan tersimpul dua hal, yaitu : a. bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha, dalam bahasa Inggris disebut company. b. jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang perekonomian yang dilakukan secara terus-menerus oleh pengusaha untuk memperoleh keuntungan dan atau laba, dalam bahasa Inggris disebut business. Dengan demikian yang dimaksud dengan menjalankan perusahaan sesuai dengan pendapat para sarjana tersebut di atas, antara lain : 1. Menjalankan perusahaan secara terus-menerus. Molengraaff, Polak maupun Pembentuk Undang-undang menentukan bahwa kegiatan dalam bidang ekonomi itu dilakukan secara terusmenerus, artinya tidak terputus-putus, tidak secara insidental, tidak sebagai sambilan, bersifat tetap untuk jangka waktu lama. Jangka waktu tersebut ditentukan dalam akta pendirian perusahaan atau dalam surat izin usaha. 2. Menjalankan perusahaan dengan terang-terangan. Terang-terangan artinya diketahui oleh umum dan ditujukan kepada umum, tidak selundup-selundupan, diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, diakui dan dibenarkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang, dan bebas berhubungan dengan pihak lain (pihak ketiga). Bentuk terang-terangan ini dapat diketahui dan berupa akta pendirian perusahaan, surat izin usaha, surat izin tempat usaha, akta pendaftaran perusahaan. Molenggraaff, menggunakan istilah bertindak keluar, yang maksudnya berhubungan dengan pihak lain (pihak ketiga), tetapi tidak dipersoalkan apakah secara terang-terangan atau selundup-selundupan, juga tidak dipersoalkan bentuk terang-terangan itu. Undang-undang mengatur bentuk terang-terangan ini. Jika unsur ini tidak ada, perusahaan itu dikatakan liar, dan melanggar Undangundang. 3. Memperoleh keuntungan dan atau laba secara ekonomis. Molenggraaff menggunakan istilah penghasilan, Polak menggunakan istilah laba, pembentuk Undang-undang menggunakan istilah keuntungan dan atau laba. Ketiga macam istilah ini adalah istilah ekonomi yang menunjukkan nilai lebih (hasil) yang diperoleh dari modal yang dijalankan. Setiap kegiatan menjalankan perusahaan tentu berdasarkan sejumlah modal. Dengan modal perusahaan itu keuntungan dan atau laba dapat diperoleh. Ini adalah tujuan utama setiap perusahaan. 4. Adanya obyek usaha. Obyek tersebut harus halal, artinya tidak dilarang oleh Undangundang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Kegiatan itu tidak dilakukan dengan cara melawan hukum. 5. Dengan membuat pembukuan. Dalam rumusan Molenggraaff, tidak terdapat unsur pembukuan. Tetapi Polak menambahkan unsur ini dalam pengertian perusahaan. Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengharuskan pengusaha membuat pembukuan yang berisi catatan tentang harta kekayaan dan kewajiban perusahaan. Keuntungan dan atau laba yang diperoleh hanya dapat diketahui dari pembukuan. Pembukuan juga menjadi dasar perhitungan pajak yang wajib dibayar kepada pemerintah. Dengan demikian usaha ini dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab penuh terhadap resiko dan aktifitas perusahaan. Dalam hal ijin usaha secara relatif dapat dikatakan lebih ringan dan lebih sederhana persyaratannya dibandingkan dengan jenis perusahaan lainnya. Setiap perusahaan mempunyai bentuk hukum yang diakui oleh Undang-undang. Bentuk hukum itu menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagai badan usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi. Bentuk hukum itu secara formal termuat dalam akta pendirian, atau surat izin usaha. Dalam mengadakan hubungan hukum khususnya dalam mengadakan transaksi bisnis, pihak yang mempunyai utang boleh jadi ia tidak bisa memenuhi kewajibannya tepat waktu. Jika terjadi hal semacam ini, langkah hukum yang harus dilakukan oleh pihak yang mempunyai tagihan atau yang berpiutang. Dapat dirujuk kepada ketentuan umum yang berkaitan dengan pengaturan masalah hubungan keperdataan. Secara umum yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyatakan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya” Berdasarkan Pasal tersebut menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid), yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, mengikat berarti para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Bila para pihak tidak memenuhi kewajiban apa yang telah disepakati, maka pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Konsekuensinya adalah bagi pihak yang sudah melaksanakan kewajiban, mempunyai hak untuk menagih. Dalam pemisahan modal dari kekayaan pribadi pada perusahaan perorangan dalam kepailitan tidak ada artinya, sebab semua harta kekayaan menjadi jaminan dari semua utang perusahaan. Pemahaman yang tepat terhadap pilihan bentuk badan usaha dan pertanggungjawaban yuridis membuat suatu organisasi perusahaan dikelola secara baik dan bertanggung jawab. Tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate covernance bukan hal asing dalam dunia usaha, tetapi konsep manajemen ini diimplementasikan dalam ketentuan normatif melalui perangkat hukum, membuktikan korelasi yang erat antara hukum dan ekonomi untuk menata bukan saja bentuk-bentuk badan usaha dan tata cara pendiriannya, tetapi penekanan yang lebih diperhatikan adalah cara-cara pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab. Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasanalasan yang sah untuk didahulukan”. Dengan demikian, dalam rumusan Pasal tersebut di atas dapat diketahui, bahwa jika pihak yang berutang (debitur) tidak memenuhi kewajibannya, maka harta benda debitur menjadi jaminan bagi semua kreditur. Agar aset debitur dapat dibagi secara proporsional dalam membayar utang-utangnya, maka dilakukan penyitaan (pembeslagaan) secara masal. Asas yang terkandung dalam kedua Pasal tersebut adalah : 1. Setiap Kreditur berhak atas setiap bagian kekayaan Debitur untukpembayaran piutangnya. Jadi, apabila Debitur tidak membayarutangnya dengan sukarela atau tidak membayarnya walaupun telah ada keputusan Pengadilan yang menghukumnya untuk melunasi utangnya,atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka dibagi-bagikan antara semua Krediturnya menurut perimbangan besarkecilnya piutang masing-masing Kreditur, kecuali apabila di antara para Kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 2. Semua Kreditur mempunyai hak yang sama tanpa memperhatikan siapa yang lebih dahulu menjadi Kreditur bagi Debitur yang bersangkutan. Bagi perusahaan, utang itu tidak merupakan suatu hal yang buruk, asal masih dapat membayar kembali. Perusahaan tersebut dikatakan perusahaan solvable, artinya perusahaan yang mampu membayar utang-utangnya. Sebaliknya perusahaan yang sudah tidak bisa membayar utang-utangnya lagi disebut insolvable, artinya tidak mampu membayar. Sebuah perusahaan yang mengalami penurunan (kerugian), ada kemungkinan perusahaan itu sampai pada suatu keadaan berhenti membayar, yaitu suatu keadaan, di mana si pengusaha tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Bila keadaan berhenti membayar ini benar-benar terjadi atau menjadi kenyataan, maka Hakim dapat menjatuhkan pailit pada perusahaan tersebut. yang timbul dari perjanjian yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan (verbintenis). Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai hukum umum (lex generalis). Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur tentang Perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian, dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu, diatur perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hokum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Buku III ditujukan untuk pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, yaitu hukum perjanjian artinya perikatan merupakan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut Undang-undang dapat berupa : 1. menyerahkan suatu barang. 2. melakukan suatu perbuatan. 3. tidak melakukan suatu perbuatan. Sumber-sumber perikatan, oleh Undang-undang dijelaskan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari Undang-undang. Perikatan yang lahir dari Undang-undang saja dan yang lahir dari Undang-undang karena perbuatan orang. Dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Apabila seorang Debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) yang menyebabkan dapat digugat di depan Hakim. Hakim Pengawas merupakan Hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pengadilan yang dimaksud Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umu. Dengan demikian, dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diketahui bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh Hakim Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut : 1. Adanya utang; 2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo; 3. Minimal satu dari utang dapat ditagih; 4. Adanya debitur; 5. Adanya kreditur; 6. Kreditur lebih dari satu; 7. Penyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”. 8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu : a. Pihak debitur; b. Satu atau lebih kreditur; c. Jaksa untuk kepentingan umum; d. Bank Indonesia jika debiturnya bank; e. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian; f. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. 9. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-undang Kepailitan. 10. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim “menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”. Sehingga dalam hal ini kepada Hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada kasus-kasus lainnya, sungguhpun limited defence masih dibenarkan, mengingat yang berlaku adalah prosedur pembuktian yang sumir (vide Pasal 8 ayat 4) Undang-undang Kepailitan). Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan menyatakan : “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 04 K/N/1999 bahwa yang dimaksud dengan utang adalah suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu yang timbul karena perjanjian atau perikatan atau Undng-undang, termasuk tidak hanya kewajiban debitur untuk membayar, akan tetapi juga hak dari kreditur menerima dan mengusahakan. Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 13 K/N/1999 bahwa yang dimaksud dengan utang adalah segala bentuk kewajiban untuk membayar uang tertentu baik yang timbul karena perikatan maupun karena Undang-undang. Dengan demikian, pengertian utang berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Agung tersebut diatas dapat diartikan dalam arti luas, misalnya : harga barang yang belum dibayar pembeli, uang sewa yang belum dibayar penyewa, upah buruh yang belum dibayar majikan, pajak yang belum dibayar dan lain-lain. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan. Sedangkan debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan. Oleh karena itu, debitur pailit adalah debitur yang dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Dalam rapat verifikasi ada tiga golongan kreditur, antara lain : a. Golongan khusus, adalah kreditur pemegang hak tanggungan, jaminan fidusia, hak gadai, hipotik yang dapat bertindak sendiri menurut Undang-undang (Pasal 1178 dan Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata), meskipun telah ada pernyataan pailit yang diucapkan oleh Hakim (Pasal 55 Undang-undang Kepailitan). Kreditur golongan khusus ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan (hak tanggungan, gadai, jaminan fidusia, hipotik) seolah-olah tidak ada kepailitan (Pasal 55 Undang-undang Kepailitan). Dari hasil penjualan itu dia mengambil sebesar piutangnya sebagai pelunasan, sedang sisanya disetorkan kepada Balai Harta Peningalan (BHP). Bila ternyata hasil penjualan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka dia, bagi sisa piutangnya dapat menggabungkan diri sebagai kreditur konkuren (Pasal 60 ayat (3) Undang-undang Kepailitan). b. Golongan istimewa (privilege), adalah golongan kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa, artinya kreditur ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan lelang harta pailit (Pasal 1133, 1134, 1139 dan Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum ). c. Golongan konkuren (concurrent), adalah kreditur-kreditur yang tidak termasuk golongan khusus atau golongan istimewa. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan golongan istimewa. Sisa hasil penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditur konkuren itu (Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Kurator yang dimaksud dalam Undang-undang Kepailitan adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan. Pengawas sesuai dengan Undang-undang, artinya Hakim Pengawas adalah Hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaankewajiban pembayaran utang. Dengan demikian, setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi. Hukum tentang diri seseorang adalah memuat peraturanperaturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapankecakapan itu. 1.2. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis berusaha untuk merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan ? 2. Bagaimana akibat hukum dari pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan? BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Perusahaan Perorangan. 2.1.1. Sumber Hukum Perusahaan. Sumber utama hukum perusahaan adalah Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel (WvK) istilah dalam bahasa Belanda. Selain itu, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) atau Burgerlijk Wetboek (BW) juga menjadi sumber hokum perusahaan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan sebagai berikut : “Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab Undang-undang ini”. Dalam Kitab Undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Dagang berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis). Segi hukum pada perusahaan, rumusan definisi perusahaan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyatakan sebagai berikut : “Bahwa setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktuwaktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya”. Dalam rumusan definisi tersebut diatas, setiap unsur mengandung segi hukum yang diatur oleh Undang-undang. Segi hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Badan usaha. Setiap perusahaan mempunyai bentuk hukum yang diakui oleh Undang-undang. Bentuk hukum itu menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagai badan usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi. Bentuk hukum itu secara formal termuat dalam akta pendirian, atau surat izin usaha. b. Kegiatan dalam bidang ekonomi. Kegiatan tersebut harus legal, artinya tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Kegiatan itu tidak dilakukan dengan cara melawan hukum. c. Terus-menerus. Kegiatan itu dijalankan sebagai mata pencaharian, bukan sambilan. Dengan demikian, kegiatan itu dijalankan untuk jangka waktu lama, yang telah ditetapkan dalam akta pendirian atau surat izin usaha. Legalitas berjalannya perusahaan selama jangka waktu yang ditetapkan itu. d. Terang-terangan. Pengakuan dan pembenaran itu dilakukan oleh Pemerintah melalui perbuatan hukum pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian, penerbitan surat izin usaha, penerbitan surat izin tempat usaha, dan penerbitan sertifikat pendaftaran perusahaan. e. Keuntungan dan atau laba. Keuntungan dan atau laba ini harus diperoleh berdasarkan legalitas dan ketentuan Undang-undang, artinya bukan hasil yang diperoleh secara melawan hukum, pemerasan jasa karyawan, pajak yang tidak dibayarkan kepada Pemerintah. f. Pembukuan. Segi hukum bukan pada bentuk pembukuan, melainkan pada kebenaran isi pembukuan dan kebenaran alat bukti pendukungnya, misalnya kuitansi, nota penerimaan, daftar barang. Dengan demikian, bahwa hukum dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatan-perikatan itu ada yang bersumber dari perjanjian dan ada yang bersumber dari Undang-undang. Oleh karena itu, hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata terhadap semua perjanjian dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan sebagai berikut : “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”. Bahwa semua perjanjian baik yang bernama maupun yang tidak bernama tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam perikatan yang timbul dari perjanjian yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan (verbintenis). Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Perdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis). Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata berjudul mengenai perikatan. Perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian karena dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu mengenai perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan mengenai perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Perikatan yang dimaksudkan dalam Buku III Kitab Undangundang Hukum Perdata, ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II mengatur mengenai hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda (hakhak perbendaan). Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Dengan demikian, sifat hukum yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu selalu berupa tuntut menuntut, maka isi Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini dinamakan hukum perutangan. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut Undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan. Dengan demikian, hukum perikatan adalah yang mengatur akibat hukum yang disebut perikatan, yaitu suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masingmasing berdiri sendiri (zelfstandige rechtssubjecten), yang menyebabkan pihak yang satu terhadap pihak lainnya berhak atas suatu prestasi, prestasi mana adalah menjadi kewajiban pihak terakhir terhadap pihak pertama. Oleh karena perikatan adalah hubungan hukum, dan hubungan hokum adalah salah satu dari akibat hukum. Akibat hukum ini timbul karena adanya suatu kenyataan hukum (rechtsfeit). Sumber-sumber perikatan, oleh Undang-undang dijelaskan, bahwa suatu dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari Undangundang. Perikatan yang lahir dari Undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari Undang-undang dan yang lahir dari Undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang selanjutnya mengikuti perkembangannya, dapat lagi dibagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum disebut wanprestasi yang menyebabkan debitur digugat di Pengadilan. Dalam hukum berlaku suatu azas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang kreditur yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, dengan demikian mengajukan gugatan ke Pengadilan. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan hukum umum, sedang Kitab Undang-undang Hukum Dagang merupakan hukum perdata khusus. Oleh karena itu, hubungan antara kedua macam hukum ini seperti genus (umum) dan specialis (khusus). Mengenai hubungan ini berlaku adagium (rechtsspreuk), azas hukum yang terkandung dalam kalimat pendek berisi padat. Lex specialis derogate lex generali (hukum khusus menghapus hukum umum). Adagium ini dirumuskan dalam Undang-undang sebagai tercantum dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersebut diatas. Bahwa hubungan antara Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang sebagai hukum umum dan hukum khusus dapat dibuktikan dari Pasal 1319, 1339, 1347 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 15, 396 Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Perundang-undangan Republik Indonesia Yang Menjadi Sumber Hukum Perusahaan. Hukum perusahaan juga diatur dalam beberapa perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan perusahaan. Perundangundangan itu antara lain sebagai berikut : a. Undang-undang No. 15 Tahun 1952 Tentang Bursa. b. Undang-undang No. 33 dan 34 Tahun 1964 Tentang Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja. c. Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). d. Undang-undang No. 5 Tahun 1968 tentang Konvensi Washington mengenai Sengketa Modal Asing di Indonesia. e. Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). f. Undang-undang No. 9 Tahun 1969 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). g. Undang-undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. h. Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. i. Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Penyempurnaan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. j. Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Hak Paten. k. Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek. l. Lain-lain. Pengertian Pailit. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada bahkan sudah ada Undang-undang Khusus sejak Tahun 1905 dengan diberlakukannya Staatsblad 1905 – 217 juncto Staatsblad 1906 – 348. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mengenal istilah kata-kata bangkrut. Staatsblad 1905 – 127 dan Staatsblad 1906 – 348 tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1998, yang kemudian diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun1998. Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1998 tersebut adalah 30 C.S.T. Kansil, et al, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi), Bagian 3, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996, hal 6 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah pailit berasal dari kata Belanda failliet, yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata nama sifat. Kata failliet sendiri berasal dari kata Perancis. Faillite, yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar, dalam bahasa Perancis disebut le faille. Kata kerja faillir berarti gagal. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail yang memiliki arti yang sama. Sehubungan pengucapan kata itu dalam bahasa Belanda adalah faiyit, maka ada pula beberapa sarjana yang menerjemahkannya sebagai palyit dan faillissement sebagai kepalyitan. Di negaranegara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya untuk pengertian pailit dipergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. Kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan. Pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak pernah tahu keadaan tidak mampu dari debitur. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan Niaga, baik yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan, bahwa yang dimasudkan dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang oleh suatu Pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktifanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.34 Namun demikian, pada umumnya bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para kreditur. Dalam kamus hukum Fockema Andreae disebutkan, kepailitan seorang debitur adalah keadaan yang ditetapkan oleh Pengadilan bahwa debitur telah berhenti membayar utang-utangnya yang berakibat penyitaan umum atas harta kekayaan dan pendapatannya demi kepentingan semua kreditur di bawah pengawasan Pengadilan. Pendapat senada dikemukakan oleh, R. Subekti dan R. Tjitrosudibio sebagai berikut, pailit berarti keadaan seorang debitur apabila telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan Hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para krediturnya. Kepailitan adalah eksekusi masal yang ditetapkan dengan keputusan Hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan. Dalam hubungan ini dapat pula diberlakukan Pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan), yang menyatakan : “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang undang ini”. Dengan demikian, segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit ialah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Istilah berhenti membayar tersebut dalam Pasal 1 Undang-undang Kepailitan, tidak harus diartikan (naar de letter), yakni si debitur berhenti untuk sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan bahwa debitur tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit. Dengan demikian, kepailitan mempunyai makna ketidakmampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Jika terjadi ketidakmampuan untuk membayar utang, maka salah satu solusi hukum yang dapat ditempuh baik oleh debitur maupun kreditur melalui pranata hukum kepailitan. Asas umum penyitaan secara masal dalam kepailitan yakni, dimana debitur tidak melunasi utangnya secara sukarela maka hartanya disita, semua kreditur mempunyai hak yang sama, tidak ada nomor urut kapan utang muncul. Maksud diadakannya penyitaan aset pihak yang berutang yaitu; menghindari adanya tindakan sendiri-sendiri dari para kreditur yang dapat merugikan kreditur lainnya, pembayaran utang debitur dapat dilakukan secara proporsional, tagihan terhadap utang debitur dapat dilakukan secara bersamaan, adanya pengawasan dari lembaga Peradilan, maka tagihan terhadap utang debitur lebih mendapat kepastian hukum. Dengan demikian, para kreditur bergabung secara bersama-sama (concursus creditorium) dalam mengajukan gugatan kepada debitur. Dengan cara ini, maka kreditur secara bersama-sama akan memperoleh pelunasan utang tanpa ada yang didahulukan. Pelunasan utang dilakukan secara proporsional, berdasarkan perbandingan utang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh J. Djohansyah, prinsip umum Kepailitan “Paritas Creditorum” artinya semua kreditur mempunyai hak yang sama atas pembayaran dari hasil kekayaan debitur pailit akan dibagikan secara proporsional menurut besarnya tagihan. Dapat diketahui, bahwa perlunya dilakukan penyitaan terhadap aset debitur agar pembayaran terhadap utang-utangnya dapat dilakukan secara tepat, adil bagi semua kreditur. Prosedur Permohonan Kepailitan. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikit dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dari ketentuan Pasal ini dapat diketahui, bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitur ingin mengajukan permohonan pailit mempunyai : a. Dua atau lebih kreditur; dan b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh tempo. Dengan demikian, dalam Undang-undang Kepailitan tidak dijelaskan berapa jumlah utang minimal yang harus ada sehingga dapat diajukan permohonan pailit. Di sini hanya dijelaskan utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan wajib dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Pengertian kreditur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan, sedangkan pengertian debitur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan, dengan mengacu kepada ketentuan di atas terlihat baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan permohonan pailit. Permohonan kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan, kepailitan dapat dimohonkan apabila debitur mempunyai dua atau lebih kreditur, dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 tersebut adalah utang pokok atau bunganya. Sesuai dengan penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) dari Undang-undang Kepailitan, kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat indikasi kreditur maka masingmasing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Kepailitan. Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan penyitaan pailit, yaitu : 1. Debitur. 2. Kreditur atau para kreditur. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 4. Bank Indonesia, dalam hal debitur adalah bank.42 5. Badan Pengawas Pasar Modal, dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian.43 6. Menteri Keuangan, dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek, pedagang efek, dan atau manajer investasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan, telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya : a. Debitur melarikan diri. b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan. c. Debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat. d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas. e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, atau. f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Adapun tata cara pengajuan permohonan pailit adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan oleh debitur atau kreditur, dengan ketentuan Asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan atau perjanjian dalam mana pihak yang menjamin (penanggung) berjanji terhadap pihak yang dijamin (tertanggung) untuk dengan menerima sejumlah sejumlah uang premi pengganti kerugian, yang dimungkin akan diderita oleh yang dijamin (tertanggung) selaku akibat dari suatu peristiwa yang belum terang akan terjadinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh Kejaksaan tanpa menggunakan jasa advokat. Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki ijin praktek melalui Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukum terakhir debitur. Dalam hal debitur adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Republik Indonesia. Dalam hal debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya, apabila ada percampuran harta. 2.5.6. Panitia Kreditur. Salah satu pihak dalam proses kepailitan adalah apa yang disebut Panitia Kreditur. Pada prinsipnya, suatu panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur, sehingga panitia kreditur tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditur. Ada dua macam panitia kreditur yang diperkenalkan oleh Undang-undang Kepailitan, yaitu : 1. Panitia kreditur sementara (yang ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit). 2. Panitia kreditur (tetap) yakni yang dibentuk oleh Hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara. Dalam Pasal 79 Undang-undang Kepailitan disebutkan, dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, Pengadilan dapat membentuk Panitia Kreditur (sementara) yang terdiri dari tiga (3) orang yang dipilih dari Kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada Kurator. Yang dimaksud dengan Kreditur yang sudah dikenal adalah Kreditur yang sudah mendaftarkan diri untuk diverifikasi. Atas permintaan kreditur konkuren, dan berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara terbanyak biasa (simple majority), Hakim pengawas berwenang menggantikan panitia kreditur sementara dangan panitia kreditur (tetap), atau membentuk panitia kreditur (tetap) jika tidak diangkat panitia diangkat sementara. Dalam hal ini, Hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditur untuk membentuk suatu panitia kreditur. Dengan demikian, jika sudah dilakukan penyocokan utang, maka Hakim pengawas akan membentuk panitia kreditur tetap. Dalam Undangundang Kepailitan disebutkan Hakim pengawas menawarkan membentuk panitia kreditur tetap. Dalam menjalankan tugasnya panitia kreditur tetap berhak meminta semua dokumen yang berkaitan dengan kepailitan Bertanggung jawab memberikan nasihat kepada kreditur. 2.6. Upaya Hukum Kepailitan. 2.6.1. Kasasi. Apabila pemohon tidak puas atau keberatan atas putusan pada tingkat pertama, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kasasi, sebagai tingkat terakhir. Tidak ada tingkat banding atau tingkat dua. Dan apabila putusan itu telah berkekuatan tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali. Dalam Pasal 11 Undang-udang Kepailitan disebutkan, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung, yaitu : 1. Upaya hukum terhadap putusan pailit dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. 2. Permohonan Kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah putusan pailit diucapkan. 3. Sidang permohonan Kasasi paling lambat 20 hari setelah tangal permohonan Kasasi diterima. 4. Putusan Kasasi dapat diajukan Peninjauan Kembali. Pada umumnya dalam perkara perdata atau pidana maupun tatausaha negara dan militer, hanya yang telah melalui putusan tingkat kedua dapat memohon pemeriksaan tingkat kasasi. Pada Mahkamah Agung dibentuk sebuah Majelis yang khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi ruang lingkup Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan pemeriksaan tingkat terakhir. Mahkamah Agung akan bertindak baik judex factie maupun judex iuri. Sehingga setelah putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi tidak ada upaya hokum biasa yang dapat ditempuh. Alasan-alasan permohonan kasasi pada perkara kepailitan sama dengan alasan-alasan kasasi perkara-perkara perdata umum, yaitu : a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Hal ini dapat diperiksa pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lemabaran Negara tahun 1985 Nomor 73, Bab III. Pasal 30, sedang hukum acara bagi Mahkamah Agung berlaku Bab IV, Pasal 40-78. 2.6.2. Peninjauan Kembali. Pemeriksaan peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa. Dalam pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan perkara kepailitan pada tingkat pertama, yang telah berkekuatan tetap, hokum acaranya berbeda dengan sistem dan prosedural dengan hukum acara pada perkara perdata umum. Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pememrintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, Bandung : Mandar Maju, 1999, hal 6 Sidang permohonan pemeriksaam peninjauan kembali, dalam Pasal 13 juncto Pasal 14 Undang-undang Kepailitan disebutkan, siding permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali paling lambat 20 hari putusan diucapkan paling lambat 60 hari. Dalam Pasal 295 ayat (1), (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yaitu : 1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap, dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. 2. Permohonan peninjauan kembali diajukan bila : a. setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan, artinya ditemukan bukti baru yang menentukan. b. Dalam putusan Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, artinya ada kekeliruan yang nyata. Jangka waktu permohonan pemeriksaan menurut Pasal 196 ayat (1), (2) Undang-undang Kepailitan, yaitu dengan alasan angka 1 (satu) diatas dilakukan paling lambat 180 (seratus delapan puluh hari) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan peninjauan kembali dengan dengan alasan 2 (dua) diberikan batas jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 297 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, permohonan tersebut dilampiri dengan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali, disampaikan kepada panitera, dan panitera melakukan pendaftaran, serta pada pemohon diberikan tanda terima. Dalam Pasal 297 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, panitera menyampaikan salinan pemohon berikut bukti pendukung yang dilampirkan kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam Pasal 297 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, pihak termohon dapat mengajukan kontra memori artinya dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Dalam Pasal 297 ayat (4) Undang-undang Kepailitan disebutkan, panitera wajib menyampaikan jawaban itu kepada Panitera Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) hari sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam Pasal 298 Undang-undang Kepailitan disebutkan, dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung segera memeriksa dalam sidang terbuka untuk umum dan memberikan putusan. Dan dalam jangka waktu 2 (dua) hari lagi setelah putusan Mahkamah Agung diucapkan, panitera wajib menyampaikan kepada panitera Pengadilan Niaga, salinan putusan peninjauan kembali yang memuat secara lengkap pertimbangan yang menjadi dasar putusan tersebut. 2.7. Akibat Hukum Kepailitan. Bahwa dengan diketahui debitur pailit, banyak akibat yuridis diberlakukan kepada debitur pailit oleh Undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitur dengan dua mode perlakuan, yaitu 1. Berlaku demi hukum. Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai hukum tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misal, dalam Pasal 93 Undangundang Kepailitan disebutkan, larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya. 2. Berlaku secara Rule of Reason. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mepunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hokum tertentu tersebut. Misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. Dengan demikian, bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Dalam Pasal 21 Undang-undang Kepailitan disebutknan, Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dengan demikian, bahwa Kepailitan berkaitan dengan harta benda debitur. Oleh karena itu dengan dinyatakan pailit, maka: 1. Debitur, a. Kehilangan hak menguasai dan mengurus harta kekayaannya. b. Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke budel pailit. c. tujuan terhadap harta pailit diajukan ke dan atau oleh Kurator. d. Penyitaan menjadi hapus. e. Bila debitur ditahan harus dilepas. 2. Terhadap Pemegang Hak Tertentu, a. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lainnya dapat mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan. b. Pelaksanaan hak tersebut harus dilaporkan ke Kurator. c. Hak istimewa. Dalam Pasal 1139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu. Dalam Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tak bergerak pada umumnya ialah disebutkan di bawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan. 2.8. Pemberesan Harta Pailit Dalam Kepailitan. Istilah pemberesan harta pailit (insolvency) dalam Pasal 178 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, sebagai keadaan tidak mampu membayar, artinya insolvency itu terjadi demi hukum, yaitu jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Dalam salah satu kamus, insolvency berarti : 1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam perusahaan (bisnis), atau 2. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu. Bahwa insolvency itu terjadi dengan istilah demi hukum jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Secara prosedural hukum positif, maka dalam suatu proses kepailitan, harta pailit dianggap berada dalam keadaan tidak mampu membayar jika : 1. Dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau 2. Rencana perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau 3. pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit, tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan, debitur : a. Usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak. b. Pengurusan terhadap perusahaan dihentikan (dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-undang Kepailitan). Akibat hukum dari insolvency debitur pailit, yaitu konsekuensi hokum tertentu, adalah sebagai berikut : 1. Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal, pertimbangan bisnis) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih menguntungkan. 2. Pada prinsipnya tidak ada rehabilitasi. Hal ini dikarenakan dalam hal insolvency telah tidak terjadi perdamaian, dan aset debitur pailit lebih kecil dari kewajibannya. Dapat diketahui bahwa rehabilitasi dilakukan antara lain, apabila ada perdamaian atau utangnya dapat dibayar penuh (dalam Pasal 215 Undang-undang Kepailitan). Kecuali jika setelah insolvency, kemudian terdapat harta debitur pailit, misalnya karena warisan atau menang undian, sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian, rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 Undang-undang Kepailitan. Tindakan Kurator sesudah adanya keadaan insolvency, dengan keadaan insolvency yang sudah ada, maka : a. Dalam Pasal 188 Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator melakukan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah dicocokkan. b. Dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, penyusunan daftar pembagian atas persetujuan Hakim Pengawas. c. Perusahaan pailit dapat diteruskan atas persetujuan Hakim Pengawas. d. Dalam Pasal 189 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator membuat daftar pembagian yang berisi : 1. Jumlah uang yang diterima dan yang dikeluarkan. 2. Nama-nama kreditur dan jumlah tagihannya yang telah disahkan. 3. pembayaran-pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihantagihan itu. e. Dalam Pasal 189 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bagi para kreditur yang konkuren, harus diberikan bagian yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. f. Dalam Pasal 189 ayat (4) Undang-undang Kepailitan disebutkan, untuk kreditur yang mempunyai hak istimewa, juga mereka yang hak istimewanya dibantah, dan pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka. g. Dalam Pasal 189 ayat (5) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bagi mereka kreditur yang didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditur konkuren. h. Dalam Pasal 190 Undang-undang Kepailitan disebutkan, untuk piutang-piutang yang diterima dengan syarat, diberikan prosentaseprosentase dari seluruh jumlah piutang. i. Dalam Pasal 191 Undang-undang Kepailitan disebutkan, biaya-biaya kepailitan dibebankan kepada tiap-tiap bagian dari harta pailit, kecuali yang menurut Pasal 55 telah dijual sendiri oleh kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Kedudukan Debitur Pailit Dengan Berkahirnya Pemberesan. Ada dua cara untuk berakhirnya proses kepailitan, yaitu : 1. Dengan pembayaran kembali semua piutang-piutang para kreditur ata dengan tercapainya perdamaian (akkoor) dalam rapat pencocokan piutang (verification), maka proses kepailitan berakhir, atau 2. Dalam pelaksanaan, harta kekayaan debitur tidak mencukupi untuk pembayaran kembali semua piutang kreditur. Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak tercapai perdamaian, debitur dalam keadaan insolvency (tidak mampu membayar). Sebagai lanjutan dari insolvency, maka proses sitaan umum berjalan. Penjualan aset debitur dimungkinkan, karena dalam tahapan insolvency, sitaan konservatoir atas harta kekayaan debitur berubah sifatnya menjadi sitaan eksekutorial. Dalam keadaan demikian kepailitan berakhir berakhir dengan disusun dan dilaksanakan daftar pembagian mengikat dari hasil sitaan atau hasil penjualan harta kekayaan debitur. Dengan demikian, sebagai konsekuensi hukum dengan berakhirnya kepailitan tersebut baik melalui cara pertama atau dengan cara yang kedua, debitur pailit memperoleh kembali wewenangnya untuk melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan (daden van beheer er daden van eigendom). Bagi kreditur dan para kreditur-kreditur yang piutang-piutang yang belum dibayar lunas, para kreditur tetap mempunyai hak menuntut. Oleh karena itu, jika debitur dikemudian hari memperoleh harta lagi, maka kreditur-kreditur ini masih mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan kembali sisa piutangnya tersebut. BAB III METODE PENELITIAN DAN KESIMPULAN Metode Populasi dan Sampling Populasi yaitu yaitu keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah Perusahaan Perorangan, Balai Harta Peninggalan (BHP) dan Pengadilan Niaga Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Pengambilan sampel dimaksudkan agar peneliti tidak usah meneliti seluruh populasi, tetapi sebagian saja dari populasi. Adapun yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah tehnik sampel dilakukan dengan purposive sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subyek yang didasarkan pada tujuan tertentu, sehingga diperoleh sampel yang benarbenar dapat berfungsi sebagai contoh atau menggambarkan populasi yang sebenarnya. Dalam penentuan sampel karena tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi yang ada dan juga populasi dianggap mempunyai ciri-ciri yang sama (homogen), yaitu perusahaan perorangan pada umumnya, maka penulis menentukan sampel menggunakan metode random sampling. Untuk itu yang akan dijadikan respondennya adalah : 1. Ketua Pengadilan Niaga Semarang. 2. Kepala Balai Harta Peninggalan Semarang. Kesimpulan Berdasarkan penelitian pada Balai Harta Peninggalan Semarang, serta pembahasan dan analisa terhadap pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut : 1. Pemberesan harta pailit merupakan kegiatan penjualan atau menguangkan harta kekayaan debitur pailit. Pernyataan putusan pailit yang diucapkan Pengadilan Niaga untuk memenuhi kewajiban debitur pailit pada para kreditur dengan pelaksanaan pemberesan dilakukan sita umum berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berada pada daerah hukum. Sita umum dengan melalui lelang dan dapat pula dengan dibawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas. Pengangkatan Hakim Pengawas dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan. Permohonan pernyataan pailit didaftarkan malalui Panitera Pengadilan. Pengadilan Niaga yang memproses masalah perniagaan yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Pengurusan dan atau pemberesan oleh Kurator Balai Harta Peninggalan untuk mendaftarkan semua harta(budel) pailit, mengumumkan ikhtisar putusan pailit dalam Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar yang berskala nasional, memanggil para kreditur untuk mendaftarkan tagihan, pencocokan (verifikasi) piutang, perdamaian yang ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan terpenuhinya persyaratan administratif dan pendataan semua harta kekayaan debitur pailit dengan demikian, pemberesan harta debitur pailit demi hokum dilaksanakan. 2. Akibat hukum dari pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan, kegiatan menjual harta kekayaan debitur pailit untuk menutupi ongkos kepailitan dan membayar semua kewajiban debitur pada para kreditur sesuai dengan kedudukan kreditur mana yang dapat didahulukan dan pembayaran pada kreditur konkuren dengan prosentase yang di setujui oleh Hakim Pengawas. Dalam hal, dapat dijelaskan bahwa kreditur tidak akan kehilangann piutangnya. Bahwa segala kebendaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan persorangan. Dalam hal, debitur pailit memohon rehabilitasi berdasarkan ketentuan dimana para kreditur telah dipenuhi kewajibannya oleh debitur dan para kreditur telah terpuaskan. Bahwa sesungguhnya pailit terjadi atas menyangkut harta kekayaan debitur bukan kepada orangnya. Untuk mepertahankan eksistensi perusahaan memang tidak ada salah mengajukan permohonan rehabilitasi pada pengadilan yang telah menyatakan putusan pailit tersebut.

Pemberesan Harta Pailit pada Perusahaan Perorangan, BHP dan Pengadilan Niaga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. `Krisis moneter yang melanda hampir di seluruh belahan dunia pada pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Indonesia bukan satu-satunya negara yang menderita dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya. Dengan makin terpuruknya kehidupan perekonomian nasional, dapat dipastikan akan makin banyak dunia usaha yang pailit, sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Dengan demikian, dalam hal pailit tersebut akan menimbulkan masalah besar jika aturan yang ada tidak lengkap dan sempurna. Untuk itu diperlukan peraturan yang dapat digunakan secara tepat, cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan debitur untuk megupayakan penyelesaian yang adil. Dalam mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban Debitur yang sudah jatuh tempo, maka pembangunan hukum nasional dalamrangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dapat mendukung dan menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundangundangan, salah satunya adalah dengan merubah Undang-undang Kepailitan yang ada. Untuk itu, pemerintah sebagai regulator memberikan solusi dengan menerbitkan Undang-undang Kepailitan yang komprehensif, yakni Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan pada dunia usaha dimungkinkan dengan bentuk-bentuk usaha tertentu. Secara sederhana, perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk usaha, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan (partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation), Koperasi (cooperative). Pengertian perusahaan secara yuridis dapat ditemukan definisinya di dalam peraturan perundang-undangan, karena sesungguhnya perusahaan itu adalah sebagai lembaga ekonomi. Dengan kriteria tersebut maka dapat dengan mudah mengklasifisikan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan dilakukan secara legal (tidak bertentangan dengan hukum), serta dimaksudkan untuk mencari laba, maka kegiatan itu adalah merupakan kegiatan usaha. Lembaganya adalah perusahaan tertentu. Dalam hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan : “Bahwa setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya”. Peraturan khusus mengenai pelaksanaan perusahaan, yang telah disebutkan dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersebut diatas. Mewajibkan setiap orang yang menjalankan perusahaan membuat pembukuan yang teratur dan rapi. Dari pembukuan ini harus dapat diketahui semua hak dan kewajiban mengenai harta kekayaannya, termasuk harta kekayaan yang dipakai dalam perusahaan. Hal ini oleh pembentuk Undang-undang dipandang perlu untuk melindungi kepentingan kreditur. Marti Sumarni, et al, memberikan pengertian perusahaan secara ringkas dapat dikatakan bahwa : “Perusahaan adalah suatu unit kegiatan produksi yang mengolah sumbersumber ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan agar dapat memuaskan kebutuhan masyarakat”. Pengertian perusahaan secara ilmiah terdapat beberapa pendapat yang terpenting diantaranya, ialah : 1. Menurut Pemerintah Belanda, yang pada waktu itu membacakan “memorie van toelichting” rencana Undang-undang “Wetboek Van Koophandel” di muka parlemen, menerangkan bahwa disebut perusahaan ialah keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba (bagi diri sendiri); 2. Menurut Molengraaff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. Di sini Molengraaff memandang perusahaan dari sudut ekonomi. 3. Menurut Polak, baru ada perusahaan, bila diperlukan adanya perhitungan-perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan. Dipandang dari sudut komersiil. Polak, berpendapat perbuatan perusahaan ialah ; perbuatan-perbuatan yang direncanakan lebih dulu mengenai laba ruginya dan segala sesuatunya dicatat dalam buku. Di sini perbuatan perusahaan mempunyai dua unsur, yaitu : direncanakan lebih dulu tentang laba-ruginya dan unsur kedua ialah ; semua itu dicatat dalam buku. Rumusan pengertian perusahaan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (UUWDP), dalam Pasal 1 huruf (b), definisi perusahaan adalah sebagai berikut : “Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”. Dalam Pasal 1 huruf (d) UUWDP dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan : “Usaha adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba”. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut diperoleh kenyataan bahwa dalam pengertian perusahaan tersimpul dua hal, yaitu : a. bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha, dalam bahasa Inggris disebut company. b. jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang perekonomian yang dilakukan secara terus-menerus oleh pengusaha untuk memperoleh keuntungan dan atau laba, dalam bahasa Inggris disebut business. Dengan demikian yang dimaksud dengan menjalankan perusahaan sesuai dengan pendapat para sarjana tersebut di atas, antara lain : 1. Menjalankan perusahaan secara terus-menerus. Molengraaff, Polak maupun Pembentuk Undang-undang menentukan bahwa kegiatan dalam bidang ekonomi itu dilakukan secara terusmenerus, artinya tidak terputus-putus, tidak secara insidental, tidak sebagai sambilan, bersifat tetap untuk jangka waktu lama. Jangka waktu tersebut ditentukan dalam akta pendirian perusahaan atau dalam surat izin usaha. 2. Menjalankan perusahaan dengan terang-terangan. Terang-terangan artinya diketahui oleh umum dan ditujukan kepada umum, tidak selundup-selundupan, diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, diakui dan dibenarkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang, dan bebas berhubungan dengan pihak lain (pihak ketiga). Bentuk terang-terangan ini dapat diketahui dan berupa akta pendirian perusahaan, surat izin usaha, surat izin tempat usaha, akta pendaftaran perusahaan. Molenggraaff, menggunakan istilah bertindak keluar, yang maksudnya berhubungan dengan pihak lain (pihak ketiga), tetapi tidak dipersoalkan apakah secara terang-terangan atau selundup-selundupan, juga tidak dipersoalkan bentuk terang-terangan itu. Undang-undang mengatur bentuk terang-terangan ini. Jika unsur ini tidak ada, perusahaan itu dikatakan liar, dan melanggar Undangundang. 3. Memperoleh keuntungan dan atau laba secara ekonomis. Molenggraaff menggunakan istilah penghasilan, Polak menggunakan istilah laba, pembentuk Undang-undang menggunakan istilah keuntungan dan atau laba. Ketiga macam istilah ini adalah istilah ekonomi yang menunjukkan nilai lebih (hasil) yang diperoleh dari modal yang dijalankan. Setiap kegiatan menjalankan perusahaan tentu berdasarkan sejumlah modal. Dengan modal perusahaan itu keuntungan dan atau laba dapat diperoleh. Ini adalah tujuan utama setiap perusahaan. 4. Adanya obyek usaha. Obyek tersebut harus halal, artinya tidak dilarang oleh Undangundang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Kegiatan itu tidak dilakukan dengan cara melawan hukum. 5. Dengan membuat pembukuan. Dalam rumusan Molenggraaff, tidak terdapat unsur pembukuan. Tetapi Polak menambahkan unsur ini dalam pengertian perusahaan. Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengharuskan pengusaha membuat pembukuan yang berisi catatan tentang harta kekayaan dan kewajiban perusahaan. Keuntungan dan atau laba yang diperoleh hanya dapat diketahui dari pembukuan. Pembukuan juga menjadi dasar perhitungan pajak yang wajib dibayar kepada pemerintah. Dengan demikian usaha ini dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab penuh terhadap resiko dan aktifitas perusahaan. Dalam hal ijin usaha secara relatif dapat dikatakan lebih ringan dan lebih sederhana persyaratannya dibandingkan dengan jenis perusahaan lainnya. Setiap perusahaan mempunyai bentuk hukum yang diakui oleh Undang-undang. Bentuk hukum itu menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagai badan usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi. Bentuk hukum itu secara formal termuat dalam akta pendirian, atau surat izin usaha. Dalam mengadakan hubungan hukum khususnya dalam mengadakan transaksi bisnis, pihak yang mempunyai utang boleh jadi ia tidak bisa memenuhi kewajibannya tepat waktu. Jika terjadi hal semacam ini, langkah hukum yang harus dilakukan oleh pihak yang mempunyai tagihan atau yang berpiutang. Dapat dirujuk kepada ketentuan umum yang berkaitan dengan pengaturan masalah hubungan keperdataan. Secara umum yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyatakan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya” Berdasarkan Pasal tersebut menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid), yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, mengikat berarti para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Bila para pihak tidak memenuhi kewajiban apa yang telah disepakati, maka pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Konsekuensinya adalah bagi pihak yang sudah melaksanakan kewajiban, mempunyai hak untuk menagih. Dalam pemisahan modal dari kekayaan pribadi pada perusahaan perorangan dalam kepailitan tidak ada artinya, sebab semua harta kekayaan menjadi jaminan dari semua utang perusahaan. Pemahaman yang tepat terhadap pilihan bentuk badan usaha dan pertanggungjawaban yuridis membuat suatu organisasi perusahaan dikelola secara baik dan bertanggung jawab. Tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate covernance bukan hal asing dalam dunia usaha, tetapi konsep manajemen ini diimplementasikan dalam ketentuan normatif melalui perangkat hukum, membuktikan korelasi yang erat antara hukum dan ekonomi untuk menata bukan saja bentuk-bentuk badan usaha dan tata cara pendiriannya, tetapi penekanan yang lebih diperhatikan adalah cara-cara pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab. Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasanalasan yang sah untuk didahulukan”. Dengan demikian, dalam rumusan Pasal tersebut di atas dapat diketahui, bahwa jika pihak yang berutang (debitur) tidak memenuhi kewajibannya, maka harta benda debitur menjadi jaminan bagi semua kreditur. Agar aset debitur dapat dibagi secara proporsional dalam membayar utang-utangnya, maka dilakukan penyitaan (pembeslagaan) secara masal. Asas yang terkandung dalam kedua Pasal tersebut adalah : 1. Setiap Kreditur berhak atas setiap bagian kekayaan Debitur untukpembayaran piutangnya. Jadi, apabila Debitur tidak membayarutangnya dengan sukarela atau tidak membayarnya walaupun telah ada keputusan Pengadilan yang menghukumnya untuk melunasi utangnya,atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka dibagi-bagikan antara semua Krediturnya menurut perimbangan besarkecilnya piutang masing-masing Kreditur, kecuali apabila di antara para Kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 2. Semua Kreditur mempunyai hak yang sama tanpa memperhatikan siapa yang lebih dahulu menjadi Kreditur bagi Debitur yang bersangkutan. Bagi perusahaan, utang itu tidak merupakan suatu hal yang buruk, asal masih dapat membayar kembali. Perusahaan tersebut dikatakan perusahaan solvable, artinya perusahaan yang mampu membayar utang-utangnya. Sebaliknya perusahaan yang sudah tidak bisa membayar utang-utangnya lagi disebut insolvable, artinya tidak mampu membayar. Sebuah perusahaan yang mengalami penurunan (kerugian), ada kemungkinan perusahaan itu sampai pada suatu keadaan berhenti membayar, yaitu suatu keadaan, di mana si pengusaha tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Bila keadaan berhenti membayar ini benar-benar terjadi atau menjadi kenyataan, maka Hakim dapat menjatuhkan pailit pada perusahaan tersebut. yang timbul dari perjanjian yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan (verbintenis). Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai hukum umum (lex generalis). Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur tentang Perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian, dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu, diatur perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hokum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Buku III ditujukan untuk pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, yaitu hukum perjanjian artinya perikatan merupakan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut Undang-undang dapat berupa : 1. menyerahkan suatu barang. 2. melakukan suatu perbuatan. 3. tidak melakukan suatu perbuatan. Sumber-sumber perikatan, oleh Undang-undang dijelaskan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari Undang-undang. Perikatan yang lahir dari Undang-undang saja dan yang lahir dari Undang-undang karena perbuatan orang. Dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Apabila seorang Debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) yang menyebabkan dapat digugat di depan Hakim. Hakim Pengawas merupakan Hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pengadilan yang dimaksud Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umu. Dengan demikian, dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diketahui bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh Hakim Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut : 1. Adanya utang; 2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo; 3. Minimal satu dari utang dapat ditagih; 4. Adanya debitur; 5. Adanya kreditur; 6. Kreditur lebih dari satu; 7. Penyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”. 8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu : a. Pihak debitur; b. Satu atau lebih kreditur; c. Jaksa untuk kepentingan umum; d. Bank Indonesia jika debiturnya bank; e. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian; f. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. 9. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-undang Kepailitan. 10. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim “menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”. Sehingga dalam hal ini kepada Hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada kasus-kasus lainnya, sungguhpun limited defence masih dibenarkan, mengingat yang berlaku adalah prosedur pembuktian yang sumir (vide Pasal 8 ayat 4) Undang-undang Kepailitan). Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan menyatakan : “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 04 K/N/1999 bahwa yang dimaksud dengan utang adalah suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu yang timbul karena perjanjian atau perikatan atau Undng-undang, termasuk tidak hanya kewajiban debitur untuk membayar, akan tetapi juga hak dari kreditur menerima dan mengusahakan. Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 13 K/N/1999 bahwa yang dimaksud dengan utang adalah segala bentuk kewajiban untuk membayar uang tertentu baik yang timbul karena perikatan maupun karena Undang-undang. Dengan demikian, pengertian utang berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Agung tersebut diatas dapat diartikan dalam arti luas, misalnya : harga barang yang belum dibayar pembeli, uang sewa yang belum dibayar penyewa, upah buruh yang belum dibayar majikan, pajak yang belum dibayar dan lain-lain. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan. Sedangkan debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan. Oleh karena itu, debitur pailit adalah debitur yang dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Dalam rapat verifikasi ada tiga golongan kreditur, antara lain : a. Golongan khusus, adalah kreditur pemegang hak tanggungan, jaminan fidusia, hak gadai, hipotik yang dapat bertindak sendiri menurut Undang-undang (Pasal 1178 dan Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata), meskipun telah ada pernyataan pailit yang diucapkan oleh Hakim (Pasal 55 Undang-undang Kepailitan). Kreditur golongan khusus ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan (hak tanggungan, gadai, jaminan fidusia, hipotik) seolah-olah tidak ada kepailitan (Pasal 55 Undang-undang Kepailitan). Dari hasil penjualan itu dia mengambil sebesar piutangnya sebagai pelunasan, sedang sisanya disetorkan kepada Balai Harta Peningalan (BHP). Bila ternyata hasil penjualan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka dia, bagi sisa piutangnya dapat menggabungkan diri sebagai kreditur konkuren (Pasal 60 ayat (3) Undang-undang Kepailitan). b. Golongan istimewa (privilege), adalah golongan kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa, artinya kreditur ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan lelang harta pailit (Pasal 1133, 1134, 1139 dan Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum ). c. Golongan konkuren (concurrent), adalah kreditur-kreditur yang tidak termasuk golongan khusus atau golongan istimewa. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan golongan istimewa. Sisa hasil penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditur konkuren itu (Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Kurator yang dimaksud dalam Undang-undang Kepailitan adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan. Pengawas sesuai dengan Undang-undang, artinya Hakim Pengawas adalah Hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaankewajiban pembayaran utang. Dengan demikian, setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi. Hukum tentang diri seseorang adalah memuat peraturanperaturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapankecakapan itu. 1.2. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis berusaha untuk merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan ? 2. Bagaimana akibat hukum dari pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan? BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Perusahaan Perorangan. 2.1.1. Sumber Hukum Perusahaan. Sumber utama hukum perusahaan adalah Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel (WvK) istilah dalam bahasa Belanda. Selain itu, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) atau Burgerlijk Wetboek (BW) juga menjadi sumber hokum perusahaan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan sebagai berikut : “Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab Undang-undang ini”. Dalam Kitab Undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Dagang berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis). Segi hukum pada perusahaan, rumusan definisi perusahaan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyatakan sebagai berikut : “Bahwa setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktuwaktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya”. Dalam rumusan definisi tersebut diatas, setiap unsur mengandung segi hukum yang diatur oleh Undang-undang. Segi hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Badan usaha. Setiap perusahaan mempunyai bentuk hukum yang diakui oleh Undang-undang. Bentuk hukum itu menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagai badan usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi. Bentuk hukum itu secara formal termuat dalam akta pendirian, atau surat izin usaha. b. Kegiatan dalam bidang ekonomi. Kegiatan tersebut harus legal, artinya tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Kegiatan itu tidak dilakukan dengan cara melawan hukum. c. Terus-menerus. Kegiatan itu dijalankan sebagai mata pencaharian, bukan sambilan. Dengan demikian, kegiatan itu dijalankan untuk jangka waktu lama, yang telah ditetapkan dalam akta pendirian atau surat izin usaha. Legalitas berjalannya perusahaan selama jangka waktu yang ditetapkan itu. d. Terang-terangan. Pengakuan dan pembenaran itu dilakukan oleh Pemerintah melalui perbuatan hukum pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian, penerbitan surat izin usaha, penerbitan surat izin tempat usaha, dan penerbitan sertifikat pendaftaran perusahaan. e. Keuntungan dan atau laba. Keuntungan dan atau laba ini harus diperoleh berdasarkan legalitas dan ketentuan Undang-undang, artinya bukan hasil yang diperoleh secara melawan hukum, pemerasan jasa karyawan, pajak yang tidak dibayarkan kepada Pemerintah. f. Pembukuan. Segi hukum bukan pada bentuk pembukuan, melainkan pada kebenaran isi pembukuan dan kebenaran alat bukti pendukungnya, misalnya kuitansi, nota penerimaan, daftar barang. Dengan demikian, bahwa hukum dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatan-perikatan itu ada yang bersumber dari perjanjian dan ada yang bersumber dari Undang-undang. Oleh karena itu, hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata terhadap semua perjanjian dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan sebagai berikut : “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”. Bahwa semua perjanjian baik yang bernama maupun yang tidak bernama tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam perikatan yang timbul dari perjanjian yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan (verbintenis). Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Perdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis). Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata berjudul mengenai perikatan. Perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian karena dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu mengenai perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan mengenai perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Perikatan yang dimaksudkan dalam Buku III Kitab Undangundang Hukum Perdata, ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II mengatur mengenai hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda (hakhak perbendaan). Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Dengan demikian, sifat hukum yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu selalu berupa tuntut menuntut, maka isi Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini dinamakan hukum perutangan. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut Undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan. Dengan demikian, hukum perikatan adalah yang mengatur akibat hukum yang disebut perikatan, yaitu suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masingmasing berdiri sendiri (zelfstandige rechtssubjecten), yang menyebabkan pihak yang satu terhadap pihak lainnya berhak atas suatu prestasi, prestasi mana adalah menjadi kewajiban pihak terakhir terhadap pihak pertama. Oleh karena perikatan adalah hubungan hukum, dan hubungan hokum adalah salah satu dari akibat hukum. Akibat hukum ini timbul karena adanya suatu kenyataan hukum (rechtsfeit). Sumber-sumber perikatan, oleh Undang-undang dijelaskan, bahwa suatu dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari Undangundang. Perikatan yang lahir dari Undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari Undang-undang dan yang lahir dari Undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang selanjutnya mengikuti perkembangannya, dapat lagi dibagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum disebut wanprestasi yang menyebabkan debitur digugat di Pengadilan. Dalam hukum berlaku suatu azas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang kreditur yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, dengan demikian mengajukan gugatan ke Pengadilan. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan hukum umum, sedang Kitab Undang-undang Hukum Dagang merupakan hukum perdata khusus. Oleh karena itu, hubungan antara kedua macam hukum ini seperti genus (umum) dan specialis (khusus). Mengenai hubungan ini berlaku adagium (rechtsspreuk), azas hukum yang terkandung dalam kalimat pendek berisi padat. Lex specialis derogate lex generali (hukum khusus menghapus hukum umum). Adagium ini dirumuskan dalam Undang-undang sebagai tercantum dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersebut diatas. Bahwa hubungan antara Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang sebagai hukum umum dan hukum khusus dapat dibuktikan dari Pasal 1319, 1339, 1347 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 15, 396 Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Perundang-undangan Republik Indonesia Yang Menjadi Sumber Hukum Perusahaan. Hukum perusahaan juga diatur dalam beberapa perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan perusahaan. Perundangundangan itu antara lain sebagai berikut : a. Undang-undang No. 15 Tahun 1952 Tentang Bursa. b. Undang-undang No. 33 dan 34 Tahun 1964 Tentang Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja. c. Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). d. Undang-undang No. 5 Tahun 1968 tentang Konvensi Washington mengenai Sengketa Modal Asing di Indonesia. e. Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). f. Undang-undang No. 9 Tahun 1969 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). g. Undang-undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. h. Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. i. Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Penyempurnaan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. j. Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Hak Paten. k. Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek. l. Lain-lain. Pengertian Pailit. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada bahkan sudah ada Undang-undang Khusus sejak Tahun 1905 dengan diberlakukannya Staatsblad 1905 – 217 juncto Staatsblad 1906 – 348. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mengenal istilah kata-kata bangkrut. Staatsblad 1905 – 127 dan Staatsblad 1906 – 348 tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1998, yang kemudian diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun1998. Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1998 tersebut adalah 30 C.S.T. Kansil, et al, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi), Bagian 3, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996, hal 6 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah pailit berasal dari kata Belanda failliet, yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata nama sifat. Kata failliet sendiri berasal dari kata Perancis. Faillite, yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar, dalam bahasa Perancis disebut le faille. Kata kerja faillir berarti gagal. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail yang memiliki arti yang sama. Sehubungan pengucapan kata itu dalam bahasa Belanda adalah faiyit, maka ada pula beberapa sarjana yang menerjemahkannya sebagai palyit dan faillissement sebagai kepalyitan. Di negaranegara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya untuk pengertian pailit dipergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. Kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan. Pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak pernah tahu keadaan tidak mampu dari debitur. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan Niaga, baik yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan, bahwa yang dimasudkan dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang oleh suatu Pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktifanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.34 Namun demikian, pada umumnya bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para kreditur. Dalam kamus hukum Fockema Andreae disebutkan, kepailitan seorang debitur adalah keadaan yang ditetapkan oleh Pengadilan bahwa debitur telah berhenti membayar utang-utangnya yang berakibat penyitaan umum atas harta kekayaan dan pendapatannya demi kepentingan semua kreditur di bawah pengawasan Pengadilan. Pendapat senada dikemukakan oleh, R. Subekti dan R. Tjitrosudibio sebagai berikut, pailit berarti keadaan seorang debitur apabila telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan Hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para krediturnya. Kepailitan adalah eksekusi masal yang ditetapkan dengan keputusan Hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan. Dalam hubungan ini dapat pula diberlakukan Pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan), yang menyatakan : “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang undang ini”. Dengan demikian, segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit ialah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Istilah berhenti membayar tersebut dalam Pasal 1 Undang-undang Kepailitan, tidak harus diartikan (naar de letter), yakni si debitur berhenti untuk sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan bahwa debitur tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit. Dengan demikian, kepailitan mempunyai makna ketidakmampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Jika terjadi ketidakmampuan untuk membayar utang, maka salah satu solusi hukum yang dapat ditempuh baik oleh debitur maupun kreditur melalui pranata hukum kepailitan. Asas umum penyitaan secara masal dalam kepailitan yakni, dimana debitur tidak melunasi utangnya secara sukarela maka hartanya disita, semua kreditur mempunyai hak yang sama, tidak ada nomor urut kapan utang muncul. Maksud diadakannya penyitaan aset pihak yang berutang yaitu; menghindari adanya tindakan sendiri-sendiri dari para kreditur yang dapat merugikan kreditur lainnya, pembayaran utang debitur dapat dilakukan secara proporsional, tagihan terhadap utang debitur dapat dilakukan secara bersamaan, adanya pengawasan dari lembaga Peradilan, maka tagihan terhadap utang debitur lebih mendapat kepastian hukum. Dengan demikian, para kreditur bergabung secara bersama-sama (concursus creditorium) dalam mengajukan gugatan kepada debitur. Dengan cara ini, maka kreditur secara bersama-sama akan memperoleh pelunasan utang tanpa ada yang didahulukan. Pelunasan utang dilakukan secara proporsional, berdasarkan perbandingan utang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh J. Djohansyah, prinsip umum Kepailitan “Paritas Creditorum” artinya semua kreditur mempunyai hak yang sama atas pembayaran dari hasil kekayaan debitur pailit akan dibagikan secara proporsional menurut besarnya tagihan. Dapat diketahui, bahwa perlunya dilakukan penyitaan terhadap aset debitur agar pembayaran terhadap utang-utangnya dapat dilakukan secara tepat, adil bagi semua kreditur. Prosedur Permohonan Kepailitan. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikit dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dari ketentuan Pasal ini dapat diketahui, bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitur ingin mengajukan permohonan pailit mempunyai : a. Dua atau lebih kreditur; dan b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh tempo. Dengan demikian, dalam Undang-undang Kepailitan tidak dijelaskan berapa jumlah utang minimal yang harus ada sehingga dapat diajukan permohonan pailit. Di sini hanya dijelaskan utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan wajib dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Pengertian kreditur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan, sedangkan pengertian debitur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan, dengan mengacu kepada ketentuan di atas terlihat baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan permohonan pailit. Permohonan kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan, kepailitan dapat dimohonkan apabila debitur mempunyai dua atau lebih kreditur, dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 tersebut adalah utang pokok atau bunganya. Sesuai dengan penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) dari Undang-undang Kepailitan, kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat indikasi kreditur maka masingmasing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Kepailitan. Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan penyitaan pailit, yaitu : 1. Debitur. 2. Kreditur atau para kreditur. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 4. Bank Indonesia, dalam hal debitur adalah bank.42 5. Badan Pengawas Pasar Modal, dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian.43 6. Menteri Keuangan, dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek, pedagang efek, dan atau manajer investasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan, telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya : a. Debitur melarikan diri. b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan. c. Debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat. d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas. e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, atau. f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Adapun tata cara pengajuan permohonan pailit adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan oleh debitur atau kreditur, dengan ketentuan Asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan atau perjanjian dalam mana pihak yang menjamin (penanggung) berjanji terhadap pihak yang dijamin (tertanggung) untuk dengan menerima sejumlah sejumlah uang premi pengganti kerugian, yang dimungkin akan diderita oleh yang dijamin (tertanggung) selaku akibat dari suatu peristiwa yang belum terang akan terjadinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh Kejaksaan tanpa menggunakan jasa advokat. Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki ijin praktek melalui Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukum terakhir debitur. Dalam hal debitur adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Republik Indonesia. Dalam hal debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya, apabila ada percampuran harta. 2.5.6. Panitia Kreditur. Salah satu pihak dalam proses kepailitan adalah apa yang disebut Panitia Kreditur. Pada prinsipnya, suatu panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur, sehingga panitia kreditur tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditur. Ada dua macam panitia kreditur yang diperkenalkan oleh Undang-undang Kepailitan, yaitu : 1. Panitia kreditur sementara (yang ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit). 2. Panitia kreditur (tetap) yakni yang dibentuk oleh Hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara. Dalam Pasal 79 Undang-undang Kepailitan disebutkan, dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, Pengadilan dapat membentuk Panitia Kreditur (sementara) yang terdiri dari tiga (3) orang yang dipilih dari Kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada Kurator. Yang dimaksud dengan Kreditur yang sudah dikenal adalah Kreditur yang sudah mendaftarkan diri untuk diverifikasi. Atas permintaan kreditur konkuren, dan berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara terbanyak biasa (simple majority), Hakim pengawas berwenang menggantikan panitia kreditur sementara dangan panitia kreditur (tetap), atau membentuk panitia kreditur (tetap) jika tidak diangkat panitia diangkat sementara. Dalam hal ini, Hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditur untuk membentuk suatu panitia kreditur. Dengan demikian, jika sudah dilakukan penyocokan utang, maka Hakim pengawas akan membentuk panitia kreditur tetap. Dalam Undangundang Kepailitan disebutkan Hakim pengawas menawarkan membentuk panitia kreditur tetap. Dalam menjalankan tugasnya panitia kreditur tetap berhak meminta semua dokumen yang berkaitan dengan kepailitan Bertanggung jawab memberikan nasihat kepada kreditur. 2.6. Upaya Hukum Kepailitan. 2.6.1. Kasasi. Apabila pemohon tidak puas atau keberatan atas putusan pada tingkat pertama, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kasasi, sebagai tingkat terakhir. Tidak ada tingkat banding atau tingkat dua. Dan apabila putusan itu telah berkekuatan tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali. Dalam Pasal 11 Undang-udang Kepailitan disebutkan, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung, yaitu : 1. Upaya hukum terhadap putusan pailit dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. 2. Permohonan Kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah putusan pailit diucapkan. 3. Sidang permohonan Kasasi paling lambat 20 hari setelah tangal permohonan Kasasi diterima. 4. Putusan Kasasi dapat diajukan Peninjauan Kembali. Pada umumnya dalam perkara perdata atau pidana maupun tatausaha negara dan militer, hanya yang telah melalui putusan tingkat kedua dapat memohon pemeriksaan tingkat kasasi. Pada Mahkamah Agung dibentuk sebuah Majelis yang khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi ruang lingkup Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan pemeriksaan tingkat terakhir. Mahkamah Agung akan bertindak baik judex factie maupun judex iuri. Sehingga setelah putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi tidak ada upaya hokum biasa yang dapat ditempuh. Alasan-alasan permohonan kasasi pada perkara kepailitan sama dengan alasan-alasan kasasi perkara-perkara perdata umum, yaitu : a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Hal ini dapat diperiksa pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lemabaran Negara tahun 1985 Nomor 73, Bab III. Pasal 30, sedang hukum acara bagi Mahkamah Agung berlaku Bab IV, Pasal 40-78. 2.6.2. Peninjauan Kembali. Pemeriksaan peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa. Dalam pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan perkara kepailitan pada tingkat pertama, yang telah berkekuatan tetap, hokum acaranya berbeda dengan sistem dan prosedural dengan hukum acara pada perkara perdata umum. Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pememrintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, Bandung : Mandar Maju, 1999, hal 6 Sidang permohonan pemeriksaam peninjauan kembali, dalam Pasal 13 juncto Pasal 14 Undang-undang Kepailitan disebutkan, siding permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali paling lambat 20 hari putusan diucapkan paling lambat 60 hari. Dalam Pasal 295 ayat (1), (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yaitu : 1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap, dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. 2. Permohonan peninjauan kembali diajukan bila : a. setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan, artinya ditemukan bukti baru yang menentukan. b. Dalam putusan Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, artinya ada kekeliruan yang nyata. Jangka waktu permohonan pemeriksaan menurut Pasal 196 ayat (1), (2) Undang-undang Kepailitan, yaitu dengan alasan angka 1 (satu) diatas dilakukan paling lambat 180 (seratus delapan puluh hari) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan peninjauan kembali dengan dengan alasan 2 (dua) diberikan batas jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 297 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, permohonan tersebut dilampiri dengan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali, disampaikan kepada panitera, dan panitera melakukan pendaftaran, serta pada pemohon diberikan tanda terima. Dalam Pasal 297 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, panitera menyampaikan salinan pemohon berikut bukti pendukung yang dilampirkan kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam Pasal 297 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, pihak termohon dapat mengajukan kontra memori artinya dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Dalam Pasal 297 ayat (4) Undang-undang Kepailitan disebutkan, panitera wajib menyampaikan jawaban itu kepada Panitera Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) hari sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam Pasal 298 Undang-undang Kepailitan disebutkan, dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung segera memeriksa dalam sidang terbuka untuk umum dan memberikan putusan. Dan dalam jangka waktu 2 (dua) hari lagi setelah putusan Mahkamah Agung diucapkan, panitera wajib menyampaikan kepada panitera Pengadilan Niaga, salinan putusan peninjauan kembali yang memuat secara lengkap pertimbangan yang menjadi dasar putusan tersebut. 2.7. Akibat Hukum Kepailitan. Bahwa dengan diketahui debitur pailit, banyak akibat yuridis diberlakukan kepada debitur pailit oleh Undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitur dengan dua mode perlakuan, yaitu 1. Berlaku demi hukum. Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai hukum tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misal, dalam Pasal 93 Undangundang Kepailitan disebutkan, larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya. 2. Berlaku secara Rule of Reason. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mepunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hokum tertentu tersebut. Misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. Dengan demikian, bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Dalam Pasal 21 Undang-undang Kepailitan disebutknan, Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dengan demikian, bahwa Kepailitan berkaitan dengan harta benda debitur. Oleh karena itu dengan dinyatakan pailit, maka: 1. Debitur, a. Kehilangan hak menguasai dan mengurus harta kekayaannya. b. Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke budel pailit. c. tujuan terhadap harta pailit diajukan ke dan atau oleh Kurator. d. Penyitaan menjadi hapus. e. Bila debitur ditahan harus dilepas. 2. Terhadap Pemegang Hak Tertentu, a. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lainnya dapat mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan. b. Pelaksanaan hak tersebut harus dilaporkan ke Kurator. c. Hak istimewa. Dalam Pasal 1139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu. Dalam Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tak bergerak pada umumnya ialah disebutkan di bawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan. 2.8. Pemberesan Harta Pailit Dalam Kepailitan. Istilah pemberesan harta pailit (insolvency) dalam Pasal 178 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, sebagai keadaan tidak mampu membayar, artinya insolvency itu terjadi demi hukum, yaitu jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Dalam salah satu kamus, insolvency berarti : 1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam perusahaan (bisnis), atau 2. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu. Bahwa insolvency itu terjadi dengan istilah demi hukum jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Secara prosedural hukum positif, maka dalam suatu proses kepailitan, harta pailit dianggap berada dalam keadaan tidak mampu membayar jika : 1. Dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau 2. Rencana perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau 3. pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit, tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan, debitur : a. Usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak. b. Pengurusan terhadap perusahaan dihentikan (dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-undang Kepailitan). Akibat hukum dari insolvency debitur pailit, yaitu konsekuensi hokum tertentu, adalah sebagai berikut : 1. Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal, pertimbangan bisnis) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih menguntungkan. 2. Pada prinsipnya tidak ada rehabilitasi. Hal ini dikarenakan dalam hal insolvency telah tidak terjadi perdamaian, dan aset debitur pailit lebih kecil dari kewajibannya. Dapat diketahui bahwa rehabilitasi dilakukan antara lain, apabila ada perdamaian atau utangnya dapat dibayar penuh (dalam Pasal 215 Undang-undang Kepailitan). Kecuali jika setelah insolvency, kemudian terdapat harta debitur pailit, misalnya karena warisan atau menang undian, sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian, rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 Undang-undang Kepailitan. Tindakan Kurator sesudah adanya keadaan insolvency, dengan keadaan insolvency yang sudah ada, maka : a. Dalam Pasal 188 Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator melakukan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah dicocokkan. b. Dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, penyusunan daftar pembagian atas persetujuan Hakim Pengawas. c. Perusahaan pailit dapat diteruskan atas persetujuan Hakim Pengawas. d. Dalam Pasal 189 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator membuat daftar pembagian yang berisi : 1. Jumlah uang yang diterima dan yang dikeluarkan. 2. Nama-nama kreditur dan jumlah tagihannya yang telah disahkan. 3. pembayaran-pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihantagihan itu. e. Dalam Pasal 189 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bagi para kreditur yang konkuren, harus diberikan bagian yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. f. Dalam Pasal 189 ayat (4) Undang-undang Kepailitan disebutkan, untuk kreditur yang mempunyai hak istimewa, juga mereka yang hak istimewanya dibantah, dan pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka. g. Dalam Pasal 189 ayat (5) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bagi mereka kreditur yang didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditur konkuren. h. Dalam Pasal 190 Undang-undang Kepailitan disebutkan, untuk piutang-piutang yang diterima dengan syarat, diberikan prosentaseprosentase dari seluruh jumlah piutang. i. Dalam Pasal 191 Undang-undang Kepailitan disebutkan, biaya-biaya kepailitan dibebankan kepada tiap-tiap bagian dari harta pailit, kecuali yang menurut Pasal 55 telah dijual sendiri oleh kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Kedudukan Debitur Pailit Dengan Berkahirnya Pemberesan. Ada dua cara untuk berakhirnya proses kepailitan, yaitu : 1. Dengan pembayaran kembali semua piutang-piutang para kreditur ata dengan tercapainya perdamaian (akkoor) dalam rapat pencocokan piutang (verification), maka proses kepailitan berakhir, atau 2. Dalam pelaksanaan, harta kekayaan debitur tidak mencukupi untuk pembayaran kembali semua piutang kreditur. Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak tercapai perdamaian, debitur dalam keadaan insolvency (tidak mampu membayar). Sebagai lanjutan dari insolvency, maka proses sitaan umum berjalan. Penjualan aset debitur dimungkinkan, karena dalam tahapan insolvency, sitaan konservatoir atas harta kekayaan debitur berubah sifatnya menjadi sitaan eksekutorial. Dalam keadaan demikian kepailitan berakhir berakhir dengan disusun dan dilaksanakan daftar pembagian mengikat dari hasil sitaan atau hasil penjualan harta kekayaan debitur. Dengan demikian, sebagai konsekuensi hukum dengan berakhirnya kepailitan tersebut baik melalui cara pertama atau dengan cara yang kedua, debitur pailit memperoleh kembali wewenangnya untuk melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan (daden van beheer er daden van eigendom). Bagi kreditur dan para kreditur-kreditur yang piutang-piutang yang belum dibayar lunas, para kreditur tetap mempunyai hak menuntut. Oleh karena itu, jika debitur dikemudian hari memperoleh harta lagi, maka kreditur-kreditur ini masih mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan kembali sisa piutangnya tersebut. BAB III METODE PENELITIAN DAN KESIMPULAN Metode Populasi dan Sampling Populasi yaitu yaitu keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah Perusahaan Perorangan, Balai Harta Peninggalan (BHP) dan Pengadilan Niaga Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Pengambilan sampel dimaksudkan agar peneliti tidak usah meneliti seluruh populasi, tetapi sebagian saja dari populasi. Adapun yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah tehnik sampel dilakukan dengan purposive sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subyek yang didasarkan pada tujuan tertentu, sehingga diperoleh sampel yang benarbenar dapat berfungsi sebagai contoh atau menggambarkan populasi yang sebenarnya. Dalam penentuan sampel karena tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi yang ada dan juga populasi dianggap mempunyai ciri-ciri yang sama (homogen), yaitu perusahaan perorangan pada umumnya, maka penulis menentukan sampel menggunakan metode random sampling. Untuk itu yang akan dijadikan respondennya adalah : 1. Ketua Pengadilan Niaga Semarang. 2. Kepala Balai Harta Peninggalan Semarang. Kesimpulan Berdasarkan penelitian pada Balai Harta Peninggalan Semarang, serta pembahasan dan analisa terhadap pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut : 1. Pemberesan harta pailit merupakan kegiatan penjualan atau menguangkan harta kekayaan debitur pailit. Pernyataan putusan pailit yang diucapkan Pengadilan Niaga untuk memenuhi kewajiban debitur pailit pada para kreditur dengan pelaksanaan pemberesan dilakukan sita umum berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berada pada daerah hukum. Sita umum dengan melalui lelang dan dapat pula dengan dibawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas. Pengangkatan Hakim Pengawas dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan. Permohonan pernyataan pailit didaftarkan malalui Panitera Pengadilan. Pengadilan Niaga yang memproses masalah perniagaan yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Pengurusan dan atau pemberesan oleh Kurator Balai Harta Peninggalan untuk mendaftarkan semua harta(budel) pailit, mengumumkan ikhtisar putusan pailit dalam Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar yang berskala nasional, memanggil para kreditur untuk mendaftarkan tagihan, pencocokan (verifikasi) piutang, perdamaian yang ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan terpenuhinya persyaratan administratif dan pendataan semua harta kekayaan debitur pailit dengan demikian, pemberesan harta debitur pailit demi hokum dilaksanakan. 2. Akibat hukum dari pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan, kegiatan menjual harta kekayaan debitur pailit untuk menutupi ongkos kepailitan dan membayar semua kewajiban debitur pada para kreditur sesuai dengan kedudukan kreditur mana yang dapat didahulukan dan pembayaran pada kreditur konkuren dengan prosentase yang di setujui oleh Hakim Pengawas. Dalam hal, dapat dijelaskan bahwa kreditur tidak akan kehilangann piutangnya. Bahwa segala kebendaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan persorangan. Dalam hal, debitur pailit memohon rehabilitasi berdasarkan ketentuan dimana para kreditur telah dipenuhi kewajibannya oleh debitur dan para kreditur telah terpuaskan. Bahwa sesungguhnya pailit terjadi atas menyangkut harta kekayaan debitur bukan kepada orangnya. Untuk mepertahankan eksistensi perusahaan memang tidak ada salah mengajukan permohonan rehabilitasi pada pengadilan yang telah menyatakan putusan pailit tersebut.