Saturday, January 7, 2012

Membuka Arus dan Akses Modal Bagi Usaha Kecil

Data statistik terbaru yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan dari 13,3% menjadi 12,49%. Dari data statistik tersebut terlihat juga bahwa orang miskin lebih banyak di pedesaan daripada di perkotaan dan penyerapan lapangan kerja itu lebih banyak di sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup peternakan dan perikanan. Mungkin sekitar 60% terlibat dalam sektor pertanian tersebut. Pada tahun 2010 saja sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 41,494,941 jiwa. Namun sektor pertanian juga cukup memprihatinkan karena sekitar 80% orang miskin berada di sektor pertanian.

Walaupun penyerapan tenaga kerja terbesar berada pada sektor pertanian, namun kredit perbankan yang mengucur ke sektor pertanian sangat kecil, hanya 5%. Fakta ini memperlihatkan bahwa antara data dengan mandat konstitusi tidak terkait. Padahal dari data ekonomi tahun 2009, sektor pertanian menjadi penyumbang 15% Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia; terbesar kedua setelah industri pengolahan.


Selain jumlah kredit pada sektor pertanian terbilang kecil, fakta lainnya yang ada, nilai keadilan di dalam penyaluran kredit perbankan di sektor pertanian justru minim. Sebagai contoh BRI, memberikan bunga sebesar 2-4% untuk Simpedes. Namun untuk Kupedes yang ditujukan kepada petani kecil, suku bunga yang diterapkan mencapai 16%. Sedangkan untuk kredit kepada perusahaan perkebunan besar, justru memberikan insentif berupa suku bunga yang hanya 8-11%; lebih rendah daripada bunga yang diterapkan kepada petani kecil.

Kecilnya kredit yang disalurkan perbankan bukan hanya terjadi di sektor pertanian saja, tetapi juga pada sektor usaha kecil lainnya. Kira-kira sembilan puluh delapan persen UMKM feasible dalam aktivitas usahanya. Tetapi kemungkinan hanya 20% yang mempunyai kemampuan menyediakan kolateral untuk mengakses kredit dari perbankan.

Kecilnya kucuran kredit modal bukan karena tidak adanya atau kurangnya ketersediaan modal. Pada tahun 2010 saja jumlah dana pihak ketiga dalam perbankan saja jumlahnya mencapai Rp. 2.339 Triliun (sumber: BI dalam hasil audit BRI), belum yang berupa capital inflow.

Dengan demikian, persoalan yang ada pada bidang permodalan adalah, pertama, faktor resiko usaha yang membuat usaha kecil tidak bankable. Fakta ini menunjukkan lembaga Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) belum mampu memainkan peran sebagaimana diharapkan.

Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah perlu mendorong pembentukan asuransi bagi usaha kecil atau merevitalisasi lembaga penjamin kredit yang telah ada. Terutama untuk sektor pertanian yang selama ini belum ada yang menyediakan tetapi dibutuhkan, sehingga Corp Insurance merupakan barang publik yang harus diadakan/disediakan oleh pemerintah.

Kedua, kurangnya keberpihakan sektor fiskal terhadap sektor usaha kecil terutama implementasi, bukan sekedar kebijakan. Salah satunya melalui politik anggaran atau APBN.

Ketiga, disintermediasi perbankan. Persoalan disintermediasi perbankan yang mencakup kebijakan suku bunga ini menunjuk pada lemahnya kebijakan moneter dalam menjaga suku bunga yang menarik bagi sektor riil.

Menghadapi disintermediasi perbankan, maka suku bunga government bounds harus disesuaikan dengan suku bunga deposito maupun target suku bunga kredit yang dikehendaki. Akhir-akhir ini perbankan berusaha menempatkan dana pada sektor yang minim resiko namun dijamin oleh negara. Deposito, misalnya, bunganya 4-5%, government bounds mencapai 8,5% dan SBI bunganya sebesar 6,75%. Maka, bagi perbankan, daripada menyalurkan kredit kepada pihak ketiga dengan bunga yang 11% dan ada resikonya, lebih baik melakukan kegiatan investasi portofolio karena sudah jelas ada keuntungannya.

Selain itu tentu perlu mengatur syarat minimal LDR khususnya bagi bank pemerintah (pusat dan daerah) dan dialokasikan ke sektor usaha kecil dan adanya perbaikan kebijakan moneter. Rekomendasi ini terkait dengan fakta bahwa seringkali BI menurunkan suku bunga dengan cara mengumumkan tanpa menambah jumlah uang beredar di masyarakat, sehingga penurunan suku bunga itu justru membuat likuiditas perbankan menjadi terganggu dan suku bunga kredit yang diharapkan turun tidak terjadi, bahkan mungkin justru meningkat. Sehingga kebijakan moneter harus lebih konsisten.

Persoalan keempat adalah desentralisasi kebijakan (Otda) tidak diikuti dengan desentralisasi kredit. Sebagian besar kredit, hampir 90%, penyalurannya hanya di Jawa. Padahal peluang di luar Jawa juga cukup besar, khususnya sektor pertanian, di mana di luar Jawa masih banyak tersedia lahan yang luas yang didukung dengan kultur masyarakat agraris. Pemerintah maupun Bank Indonesia harus meregulasi agar penyaluran kredit ke daerah harus ditingkatkan.

Untuk memperkuat “posisi tawar” diperlukan sebuah “payung” bagi usaha-usaha kecil. Salah satu atau mungkin satu-satunya solusi untuk menjadi “payung usaha” bagi usaha kecil yakni Koperasi. Kalau kita sepakat bahwa demokrasi Indonesia didasari oleh tiga hal semangat: untuk memperkuat persatuan nasional; untuk memperkuat keadilan sosial; dan untuk mempertinggi peradaban. Maka kalau kita lihat dalam konteks ekonomi, maka wujud yang paling cocok adalah koperasi—yang mempunyai model dari kita, oleh kita dan untuk kesejahteraan semua.

Masalahnya sekarang koperasi berada dalam level yang tidak menarik lagi untuk menggerakkan ekonomi. Entah karena diinstitusionalisasi oleh negara dalam bentuk undang-undang—semuanya harus berbadan hukum—atau hal lain, yang jelas koperasi di Indonesia sekarang berada di level terendah setelah UMKM; koperasi di Indonesia lama-lama mengalami degradasi. Mungkin hal itu disebabkan oleh political decay dengan sebutan-sebutan “ketua untung duluan” dan lain sebagainya sehingga citra koperasi di mata masyarakat pun semakin memburuk, dan harapan maupun kepercayaan masyarakat terhadap [sistem] koperasi sebagai alat ekonomi bersama menjadi mengecil.

Padahal koperasi, kalau kita sepakat, asas konstitusionalitas dalam kebijakan ekonomi yang didasari oleh Pasal 33 UUD 1945 kemudian filosofi atau nilai dasarnya adalah Pancasila, maka kelompok-kelompok masyarakat—kalau di China adalah kolektiva-kolektiva ekonomi masyarakat—itu yang harus dikembangkan karena mereka bergerak atas dasar kolektif, bukan individu-individu. Sehingga hasilnya bisa diakses secara kolektif secara merata. Sedangkan kebijakan ekonomi Indonesia arahnya ke individu. Maka kalau kita bicara RUU Demokrasi Ekonomi, perlu ada ketegasan atau penegasan mengenai posisi koperasi.***

No comments:

Post a Comment